top of page

Toba Na Sae: Sebuah Ulasan

Johann Angerler

Toba Na sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII - XX (Jakarta : Komunitas Bambu, 2004 ) adalah buku mengenai sejarah dan budaya Toba, salah satu etnis Batak di Sumatra Utara. Buku ini sulit untuk diklasifikasikan. Toba Na Sae bisa dikelompokkan sebagai sebuah karya ilmiah yang serius, meskipun tidak memenuhi persyaratan-persyaratan penulisan ilmiah, seperti misalnya keakuratan sumber tulisan. Namun di sisi lain, buku ini lebih dari sekedar risalah ilmiah. Sitor merupakan seorang penyair Indonesia terkemuka keturunan Batak, Ia mulai menulis tentang Batak lampau setelah tahun 70-an. Sekitar 1980 ia menerima bantuan dana penelitian dari Ford Foundation yang ia gunakan untuk melakukan penelitian, dengan sumber-sumber orang Indonesia maupun arsip-arsip internasional. Ia membuat dirinya terkenal di antara para peneliti Batak Internasional, terutama di kalangan mahasiswa PhD.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama dan kedua, Toba NaSae dan Guru Somalaing, telah diterbitkan sebagai dua buku yang berbeda pada 1993. isi dari kedua buku ini sebagian besar tidak mengalami perubahan (kecuali beberapa koreksi dan sejumlah catatan kaki penjelas). namun terdapat beberapa lampiran yang ditambahkan. Bagian ketiga yang relatif lebih tipis juga baru-baru ini ditulis. Beberapa ilustrasi dari terbitan sebelumnya dihilangkan dan beberapa ilustrasi baru ditambahkan. Sebuah pengantar penjelas dari penulis dan daftar pustaka baru (sayangnya tidak lengkap), juga sebuah indeks diberikan untuk memudahkan akses pembaca atas kompilasi karya Sitor mengenai Toba lampau ini.

 

Bagian pertama terdiri dari 32 bab dan beberapa lampiran. Masing-masing bab berupa esei pendek yang berdiri sendiri namun memberikan gambaran secara keseluruhan mengenai sejarah dan budaya tradisional rakyat Toba sebagaimana yang ingin digambarkan penulis. Untuk membuat tujuan utamanya dimengerti, diperlukan beberapa penjelasan. Untuk tujuan yang mulia, Sitor menganggap literatur-literatur yang ada mengenai sejarah dan budaya Batak-baik literatur yang ditulis oleh orang Barat maupun peneliti Indonesia-tidak lengkap dan tidak utuh (xviii). Namun, ia menggunakan literatur ilmiah secara luas dan bahkan memperkenalkan beberapa sumber tertulis yang kurang dikenal oleh pembaca Indonesia. Pada tahap pertama, ia menempuh strategi dengan memperbaiki gambaran yang menyimpang mengenai sejarah bangsanya untuk mengidentifikasi "mata rantai yang hilang" dan untuk mengisi kesenjangan-kesenjangan tertentu agar sampai pada sebuah pandangan yang lebih menyeluruh mengenai Batak Toba lampau.

 

Fakta sejarah yang terpenting adalah bahwa masyarakat Toba adalah sebuah masyarakat yang mandiri dari kekuasaan-kekuasaan luar hingga pertengahan kedua abad ke-19. Kemandirian ini lenyap ketika Toba diduduki oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan,rakyat Batak yang mayoritas telah memeluk agama Kristen, menjadi bagian dari negara Indonesia. Bagaimana masyarakat Toba diatur secara politik, sosial dan spiritual sebelum bergabung dalam sebuah negara? Dalam konteks ini Sitor mengidentifikasi beberapa "mata rantai yang hilang" yang ia coba buktikan.

 

"Mata rantai yang hilang" tersebut terutama adalah sebuah organisasi politik yang tidak pernah benar-benar dipahami oleh para peneliti luar. Toba, sejauh yang diketahui, tidak pernah memiliki pemerintahan pusat dalam sejarahnya. Toba digolongkan sebagai masyarakat tanpa negara, yang diatur secara politis hanya melalui jalur kekerabatan. Sitor membantah pandangan ini (meskipun ia sendiri mengetahui pentingnya kekerabatan) dengan menyatakan bahwa organisasi teritorial pada masa prakolonial jauh lebih penting bagi masyarakat Toba (hlm. 57, 258). Sebagai "mata rantai yang hilang" untuk memahami sejumlah (sekitar 150) organisasi teritorial otonom (bius)-yang ia sebut dengan paguyuban dan juga sebagai "negara mini"-ia mengidentifikasi organisasi-organisasi parbaringin (yang dalam literatur lebih dianggap sebagai organisasi kependetaan). Institusi-institusi kuno ini tidak pernah menjadi sasaran penelitian  yang mendalam sebelum Sitor menunjukkan betapa pentingnya organisasi-organisasi ini dalam penelitian mengenai Batak, bukan sekedar di bidang keagamaan. Sitor menunjukkan bahwa organisasi parbaringin yang sifatnya permanen, turun-temurun, dikelola secara hierarkis internal;juga merupakan bagian dari sistem politik kepemimpinan organisasi teritorial yang bersifat dualistik.

 

Pengimbang lembaga parbaringin - yang disebut kepemimpinan bius "sekuler", namun bernuansa "religius" juga-adalah sebuah dewan. Anggotanya biasanya dipilih dari anggota masyarakat terkemuka, yang dilihat sebagai "primus inter pares". Dewan sekuler dan organisasi parbaringin membentuk suatu kepemimpinan gabungan dalam organisasi teritorial yang disebut bius. Sistem politik tradisional yang memerintah bius digambarkan sang penulis sebagai demokrasi "sederhana" atau "tradisional" (hlm. 48-49), yang menjamin kedaulatan atas rakyatnya. Rakyat dari sistem seperti ini (yang berfungsi dengan baik) menikmati demokrasi sosial dan ekonomi, serta status yang setara dalam hukum tradisional.

 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sitor menolak pendapat luas yang mengatakan bahwa sistem kekerabatan adalah prinsip aturan utama dalam desa tradisional Toba. Ia menyatakan bahwa prinsip teritorial adalah yang paling penting (hlm. 57). Secara eksplisit ia mengatakan bahwa klan di Toba (marga) tidak akan pernah menjadi pemilik tanah karena marga sama sekali bukanlah organisasi (hlm. 40). hak-hak atas tanah secara tradisional bersifat kolektif dan berkaitan dengan bius sebagai paguyuban teritorial. Hak-hak ini selalu dibentuk oleh anggota dari beberapa marga. Momentum inilah yang menyebabkan penduduk dari lembah-lembah tertentu meninggalkan perbedaan-perbedaan mereka. Lalu mereka membentuk organisasi kerjasama dengan memunculkan konstitusi kolektif-yang menurut Sitor-berasal dari kebutuhan sistem irigasi umum.

 

Bekerja bersama-sama untuk membangun dan mengelola sistem irigasi yang relatif rumit, telah terbukti sebagai strategi yang baik untuk menanam padi lebih banyak dalam sebuah sistem yang permanen, melebihi pendekatan individual apa pun yang mungkin bisa dilakukan.

Sitor memiliki pendapat yang kuat di sini. Meskipun ia juga mempertimbangkan fakta bahwa dalam beberapa wilayah yang di dalamnya terdapat organisasi bius, di sana tidak ada irigasi buatan atau bahkan penanaman padi di sawah tada hujan. Biasanya suatu bius dibedakan dengan ada-tidaknya sistem irigasi di bius tersebut. Untuk organisasi bius tanpa area irigasi, Sitor menegaskan bahwa penduduk menunjuk di dalam upacara pada tradisi penanaman padi di sawah. Berdasarkan keterangan lisan, bius yang sawahnya tidak menggunakan irigasi, didirikan oleh pendatang dari wilayah penghasil padi sawah (dan bukan sebaliknya).

 

Di antara para sejarawan, muncul banyak diskusi tentang seberapa besar kebutuhan untuk bekerjasama demi mencapai manajemen air yang sukses, sehingga berperan dalam munculnya kekuasaan pemerintah atau bahkan kesewenang-wenangan. Kasus Toba, seperti yang dikatakan Sitor, justru menunjukkan bahwa penduduk tersebut mampu mempertahankan demokrasi tradisional. Penduduk mampu menjaga kebebasan individual, bahkan kesetaraan tertentu, namun pada saat yang bersamaan bekerjasama untuk mengairi sawah mereka. Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa tidak ada pemerintahan kuat yang berkembang. Dan lebih jauh lagi, mengapa tidak pernah ada keadaan yang mendekati sebuah kondisi kesatuan bangsa pada masyarakat Toba.

Bagian pertama dari pertanyaan tersebut tidak banyak diperhatikan dalam buku ini. Membangun institusi-institusi seperti itu (seperti digambarkan di atas) adalah cara khas Toba untuk melakukan berbagai hal (hlm. 59).  Dan tampaknya itulah jawabannya. Sebagian besar buku ini lebih banyak membahas pertanyaan kedua. Bagian tersebut berkaitan dengan kerjasama antara  bius dengan institusi-institusi yang saling berhubungan seperti pasar interregional dan hukum tradisional. Sebagian besar pembahasan buku ini dicurahkan pada sejarah lembaga Singamangaraja, yang dilihat Sitor sebagai simbol paling penting dari kesatuan Toba, bahkan sebagai embrio dari pembentukan negara.

 

Posisi Singamangaraja biasanya digambarkan sebagai "pendeta-raja"  yang memiliki wewenang terhadap masalah-masalah ritual, namun juga menjadi tujuan upacara pemujaan. Ia dipuja oleh sebagian besar masyarakat Batak, khususnya oleh parbaringin dari bius yang berbeda. Mereka secara teratur membawa persembahan-persembahan ke kediamannya di bius Bakkara, di pesisir Barat Danau Toba. Selama masa pendudukan kolonial, Singamangaraja terahir melawan Belanda selama kurang lebih 25 tahun dan pada akhirnya terbunuh tahun 1907.

 

Singamangaraja dipuja bahkan hingga jauh di luar batasan Toba. Namun juga diketahui bahwa terdapat dua pesaing lain menjadi "pendeta-raja" dalam dunia Toba. Hal ini sesuai dengan tiga pembagian wilayah dalam sistem marga Toba. Sementara Singamangaraja memiliki Sumba, wilayah paling besar, Jonggi Manaor dan Ompu Palti raja secara berturut-turut memiliki Borbor dan Lontung, yang meskipun wilayahnya lebih kecil namun secara genealogis lebih tua. Ketiganya adalah "pendeta raja" di wilayahnya masing-masing.

 

Ada tradisi-tradisi lisan yang menceritakan mengenai peperangan antara Singamangaraja dan "pendeta raja" lainnya benar-benar dipercaya oleh parbaringin dan bius. Cerita-cerita ini berkisah tentang bagaimana "pendeta raja" lainnya yang kurang berkuasa namun lebih cerdik berusaha mengalahkan serangan pasukan Singamangaraja.

 

Dengan fakta dari pembagian wilayah internal Toba ini, maka sulit untuk menjelaskan bagaimana lembaga Singamangaraja dapat menjadi simbol persatuan Toba. Untuk mencapai tujuan ini, Sitor menggunakan penjelasan-penjelasan historis dan struktural. Setelah secara kronologis menempatkan awal mula perkembangan bius pada abad ke-13, Sitor memasukkan keberadaan lembaga Singamangaraja yang muncul pada abad ke-16. Ketika itu lembaga Singamangaraja dimaksudkan sebagai pemersatu untuk seluruh wilayah Toba. Konsepnya sebagian berdasarkan ideologi Hindu. Singamangaraja dapat dilihat sebagai inkarnasi dari dewa Batara Guru. Rohnya (tondi-sahala) adalah sakral, abadi dan dapat berpindah pada siapapun yang menempati posisi Singmangaraja dengan sah. Banyak orang mengharapkan kembalinya Singamangaraja (dan sampai sekarang masih berharap). sebagai ratu adil yang membawa keselamatan bagi pengikutnya.

 

Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa Singamangaraja terakhir pada kenyataannya mampu melakukan perlawanan besar-besaran untuk melawan kependudukan kolonial. Singamangaraja kemudian menjadi simbol perlawanan antikolonial setelah kematiannya. Hal ini bahkan diakui hingga tingkat nasional ketika pada 1961 ia dianugerahi gelar pahlawan nasional pejuang kemerdekaan oleh presiden Sukarno. Sitor menggunakan fakta-fakta ini, seperti halnya hipotesis lama Heine-Geldern, untuk menempatkan Dinasti Singamangaraja dalam konteks tradisi yang jauh lebih tua mengenai raja-raja keramat Asia Tenggara1. Hal ini untuk menunjukkan kecenderungan Singamangaraja sebagai raja sesungguhnya daripada hanya sekedar figur pemujaan seperti diasumsikan dalam sebagian besar tulisan mengenai Batak. Ia menggambarkan munculnya lembaga Singamangaraja sebagai titik awal sebuah perkembangan pesat masyarakat Toba, dari model paguyuban berskala kecil menuju "kecenderungan pembentukan negara" untuk mencapai organisasi yang lebih " rasional", yang lebih sesuai dengan tuntutan masa modern, terutama dalam hubungannya dengan dunia luar. Sitor menggambarkan hal ini sebagai perkembangan orang-orang gunung yang terpencil, mencoba untuk merengkuh "globalisasi" (hlm. 76. Secara kebetulan, alegori globalisasi tidak dibuat dalam edisi pertama dalam teks dan nampaknya merupakan penghargaan kepada Zeitgeist - semangat zaman).

 

Sitor mencoba mengatakan kepada kita cerita yang rumit. Parbaringin, pemegang sistem bius yang menjamin otonomi dan kebebasan kepada anggota-anggotanya, pada saat yang bersamaan merupakan pendukung yang paling penting dan penyedia infrastruktur untuk institusi yang bekerja menuju pembentukan negara. Hal ini terdengar aneh dengan penghilangan otonomi dan kebebasan. Namun ini bukanlah yang terjadi dalam konteks Toba. Seperti yang dikatakan Sitor, kerajaan atau negara Singamangaraja dimaksudkan untuk membentuk sejenis bius supra, yang di dalamnya terdapat asosiasi-asosiasi bius yang terpisah dan tidak kehilangan otonomi mereka (hlm. 117).

 

Harus disebut di sini bahwa Sitor juga memberikan pandangannya terhadap legitimasi spiritual atas hubungan-hubungan sosiopolitik. Sitor juga membicarakan masalah-masalah religius dan ideologis yang berkaitan dengan Singamangaraja dan parbaringin secara mendalam. Gagasan utamanya dapat diringkas sebagai berikut: Bius dan juga lembaga marga dihubungkan dengan mitos ibu pencipta bumi, Boru Deak Parujar. Bius dan marga juga dihubungkan dengan si Raja Batak, keturunannya dan pendiri bius pertama serta pendiri seluruh sistem marga. Dalam konteks ini, parbaringin dapat dilihat sebagai penerus yang sah melalui asal-usul dan primogeniture (hak anak laki-laki sulung) dari Si Raja Batak dan masing-masing para pendiri bius. Sebaliknya, walaupun Singamangaraja berasal dari sebuah klan yang tidak memiliki hak untuk mendahului yang lain, dengan mengklaim sebagai inkarnasi dari Batara Guru-ayah Boru Deak Parujar di Langit-ia dapat meliputi keseluruhan leluhur dan mendapatkan hak dari langit unuk mengubah tradisi.

 

Tapi ini pun masih meninggalkan pembagian-pembagian wilayah internal di Toba. Dua "pendeta-raja" lainnya pun masih ada. Hal tersebut menyebabkan sulitnya untuk menjelaskan persatuan Toba. Untuk mencapai tujuan ini, Sitor telah mengajukan dua hipotesis yang sekilas terlihat bertentangan satu sama lain. Hipotesis pertama menjelaskan masalah pembagian wilayah genealogis yang ada dan kepedulian mereka untuk mempertahankan kemandirian. Dalam hipotesis ini, disebutkan bahwa lembaga Singamangaraja adalah satu-satunya yang asli dan dua lainnya didirikan untuk menandingi keinginan Singamangaraja menjadi raja seluruh Toba (hlm. 87). Hipotesis kedua menyatakan bahwa ada tiga "pendeta-raja" yang lebih tua, yang tidak lagi memiliki keinginan parbaringin untuk persatuan dan Kerajaan Toba. Kemudian, ketika lembaga Singamangaraja muncul, "pendeta-raja" dari wilayah Sumba-disebut Sorimangaraja-segera menjadi tidak berguna lagi karena lembaga baru telah mencakup lembaga itu.

 

Dalam hipotesis kedua yang menunjukkan perkembangan pemikiran Sitor, parbaringin memainkan peranan penting dalam mengembangkan persatuan Toba dengan mendirikan dan mempertahankan institusi "pendeta-raja". Peranan parbaringin juga terlihat dalam perjuangan untuk otonomi dan kemerdekaan rakyat Batak, sebagaimana yang ditunjukkan Sitor dengan contoh-contoh perlawanan antikolonial. Analisis lembaga religius-politis ini adalah tema utama dan diperdalam hingga tahap-tahap yang lebih jauh lagi dalam buku ini. Akan berlebihan jika saya menyebutkan semua hipotesis yang dihasilkan Sitor untuk menjelaskan aspek-aspek yang berbeda dari lembaga-lembaga ini demi memberikan pandangan menyeluruh.

 

Sejumlah besar bahan sejarah yang ditambahkan dalam buku ini dapat dilihat hubungannya dengan tema utama. Sebagian dari sumber buku diambil dari sejarah keluarga Sitor, dimana ayahnya memainkan peranan penting dalam sejarah kolonial lokal, termasuk perjuangan bersama Singamangaraja terakhir.

Bagian kedua buku ini sebagian besar berupa bahan dokumentasi perjalanan, terjemahan bahasa Indonesia (ditulis oleh seorang penerjemah Italia) dari seorang penjelajah Italia, Modigliani2. Ia mengunjungi beberapa wilayah di tanah Toba ketika daerah itu masih merdeka (1890/1891). Teks ini mencakup bahan yang berguna untuk memahami akar parmalim, sebuah gerakan religius dan dalam tahap-tahap awal pergerakan antikolonial. Parmalim ini memiliki kecenderungan gerakan ratu adil (pada masa kini dikembangkan menjadi beberapa organisasi religius). Parmalim dibangun atas dasar kepercayaan-kepercayaan tradisional (berasal dari parbaringin), kepercayaan pada kembalinya Singamangaraja sebagai sang penebus, dan juga berdasarkan pada gagasan-gagasan religius asing.  

 

Dalam komentar-komentarnya terhadap catatan Modigliani, Sitor menganalisis institusi dan sejarah politik Toba, terutama pada sejarah kolonial dan perjuangan rakyat secara lebih dalam. Pada bagian baru yang ditambahkan, Sitor menyuguhkan beberapa hal tentang M.H. Manullang, seorang pionir Toba dalam perjuangan untuk kemerdekaan gereja dan bangsa. Sitor juga menambahkan beberapa materi tentang hari-hari terakhir perjuangan Singamangaraja terahir.

 

Tidaklah mudah untuk mengevaluasi buku ini dengan baik, Dari sudut pandang ilmiah,  dalam beberapa hal buku ini dapat dikatakan sebagai pembuka cakrawala bagi para peneliti sejarah Batak. Hampir semua hipotesis yang telah diberikan Sitor sangat tepat untuk diubah menjadi pertanyaan-pertanyaan guna penelitian lebih lanjut mengenai sejarah Batak Toba. Dan Sitor mungkin saja benar tentang beberapa pemikiran penting. Tetapi sebagai sebuah karya ilmiah, buku ini memiliki beberapa kekurangan yang serius. sangat disayangkan bahwa Sitor jarang mengungkapkan sumber-sumbernya. Beberapa pemikirannya dapat dilacak dengan mudah, tapi beberapa pemikiran lainnya tidak. Sebagai contoh, teorinya tentang lembaga "pendeta-raja" Sorimangaraja sebagai pendahulu Singamangaraja. Apakah Sitor memiliki informasi yang jelas tentang hal itu ataukah lembaga tersebut murni sebuah praduga? Untuk penyelidikan lebih lanjut, akan sangat menarik jika kita mengetahui tentang fakta dasar ini, karena nampaknya tidak ada jejak mengenai hal tersebut dalam literatur Batak.

 

Di satu sisi, kritiknya yang tajam terhadap berbagai literatur yang ada merupakan salah satu aspek paling kuat dalam buku ini. Namun di sisi lain, kritik tersebut menunjukkan bahwa Sitor memegang terlalu erat atas apa yang telah ditulis di literatur. Ini menjadi jelas khususnya ketika ia memberikan catatan-catatan detail, misalnya mengenai bius asalnya, Harianboho. Kita harusnya mengharapkan bahwa informasi yang ia berikan, termasuk terminologi Batak, berasal dari wilayah pembahasan ini. Tapi Sitor menggunakan terminologi yang sudah umum dikenal dalam literatur. Sebagai contoh, ia menyebut subdivisi bius dari Harianboho dengan sebutan horja, yang maknanya secara harfiah adalah 'karya', 'ritual' (hlm. 44), sebuah istilah yang tidak pernah digunakan di Harianboho. Di sebagian besar wilayah Samosir, subdivisi bius disebut turpuk, yang memiliki makna 'bagian', mungkin lebih cocok untuk menandakan sifat subdivisi bius.   

Atau ketika ia menyatakan bahwa pemimpin organisasi parbaringin lokal mana pun disebut pande bolon (hlm. 142). Ini hanya terjadi pada beberapa wilayah tertentu yang sudah digambarkan dalam literatur. Kita dapat menduga mungkin hal tersebut terjadi karena buku ini tidak terlalu mengikuti literatur. Bisa juga karena keinginan Sitor untuk membuktikan persatuan Toba, sehingga mendorongnya untuk menampilkan terminologi yang lebih universal [di Toba] daripada istilah kedaerahan yang berbeda.

 

Kritik lain juga muncul sehubungan dengan tidak ditemukannya dasar yang kuat dalam beberapa hipotesisnya karena kualitas data yang buruk. Saya akan membatasi diri hanya pada judulnya. Misalnya, ia memperkenalkan istilah "Toba Na Sae" sebagai nama asli tanah Toba yang dulu. Nama ini berarti "Toba tanpa pohon" ('telanjang'). Nama ini tidak dikenal di masyarakat Toba sekarang. Nama ini pertama kali disebut dalam catatan John Anderson yang mengunjungi Sumatera Utara pada awal abad ke-193. Pembacaan secara seksama terhadap catatan itu menunjukkan bahwa nama itu hanya menyatakan satu bagian tertentu dari tanah Toba. Kemungkinan besar daerah yang dimaksud adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Humbang, yang pada kenyataannya memang tidak memiliki pohon.

 

Hitungan kronologis yang turut membentuk judul juga kurang dikembangkan dengan baik. Hitungan-hitungan tersebut didasarkan sepenuhnya pada perhitungan generasi dan jumlah Singamangaraja (dikatakan mencapai 12). Tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa masyarakat Toba benar-benar menghitung generasi/keturunannya sebelum kolonial Belanda menyediakan intensif. Belanda memilih pemimpin lokal berdasarkan pada garis keturunan, sesuai dengan gagasan bahwa sistem kekerabatan akan menjadi prinsip pengatur utama pemerintahan. Sedangkan untuk Singamangaraja, tidak ada bukti sejarah bahwa terjadi penghitungan keturunan selama Singamangaraja bermukim di Bakkara. Sepertinya ada kepentingan lain mengenai nomor sakral duabelas daripada hasil penghitungan faktual. Nampaknya tidak mungkin sekarang ini kita dapat memberi data kronologis yang mendekati kebenaran mengenai sejarah Toba pada masa awal.

 

Sekali lagi saya nyatakan, buku ini lebih dari sekedar karya ilmiah. Buku ini adalah narasi yang bagus, ditulis secara tepat, jelas dan disusun dalam bahasa Indonesia yang baik. Setiap ekspresi asing diterjemahkan atau dijelaskan. Sitor dengan caranya sendiri, mengambil tradisi seni pencerita Batak lama yang menghubungkan sejumlah besar pengetahuan tentang asal-usul kelompok kepada generasi berikutnya. Namun naskah ini sama kuatnya berakar pada konteks modern. Buku ini juga sangat tepat untuk menimbulkan kesan perukunan kembali dengan masa lalu dan mengangkat kebanggaan  atas identitas seseorang di antara para pembaca Toba-nya. Untuk pembaca Indonesia non-Toba, mungkin ini menjadi sebuah kesempatan untuk membaca buku yang sangat memukau tentang akar demokratis dimana di dalamnya ditemukan bagian penting dari budaya Indonesia.

 

Diterjemahkan oleh Uswah Chabibha dari Bijdragen tot the Taal-Land-en Volkenkunde 161 (2005). hlm. 517-523 dengan tambahan naskah dari penulisnya.

 

Catatan Belakang

1. Robert Heine-Geldern, Le pays de P'i-K'ien, le roi au grand cou et le Singa Mangaradja.

   Dalam buletin de l'Ecole Francaise d'Extreme-Orient 49 (1959): 361-405

2. Emilio Modigliani, Fra Batacchi Indipendenti. Viaggio di Emilio ModiglianiRoma: Societa Aografica Italiana 1892.

3. Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823Edinburgh: William Blackwood 1826  

 

 

  

bottom of page